Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang
terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia.
Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung
Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya).
Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya
wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma
sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat
kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura
yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura
Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak
bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan
pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura
Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat
Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma,
Dewa Wisnu
dan Dewa Siwa
yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa
Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak
tahun 1995
Sumber :
'Wikipedia
Indonesia'
2. Pura Lempuyang
Di Bali, banyak pura tidak
jelas status dan fungsi pura tersebut
sebagai pura apa? Apakah Pura Swagina, Pura Kahyangan Jagat, Pura
Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, Pura Dadia atau Pura Panti atau
Pura bekas tempat pertapaan dari para leluhur
terdahulu, atau Pura tempat abu para raja yang dicandikan atau munculnya
Pura itu atas kehendak dari segelintir orang atau Pura napak
tilas para leluhur yang pernah datang ke tempat itu atau berdirinya pura
bersumber dari kerauhan, atau berdirinya pura karena pawisik
dan siapa yang membisiki. Tiba-tiba saja, yang dulunya hanya
sebuah pohon dan didandani kain poleng, lalu dibuatkan sebuah palinggih
berkembang menjadi pura dengan tri mandalanya yang sangat
megah sekali, atau yang awalnya dari Kahyangan Desa berubah status dan
fungsinya menjadi Kahyangan Jagat. Tetapi tak jelas siapa yang
dimuliakan di pura itu, bagaimana awal mula berdirinya pura itu, siapa pengemong
dan pengemponya, bagaimana kita mengetahui bahwa dewa/bhatara
merestui tempat suci yang kita bangun itu, dan bagaimana status pura
itu untuk selanjutnya.
Selama ini berdirinya
suatu pura umumnya memiliki prasasti dan purana yang sangat jelas dan di
stanakan di pura setempat atau prasasti yang ada di lain tempat
menjelaskan tentang keberadaan pura tersebut. Prasasti adalah ketetapan
resmi terbuat dari tembaga yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa saat
itu dan disaksikan oleh jabatan bawahannya, juga nama tetua desa
tercantum di dalamnya. Sebelum prasasti itu disosialisasikan ke
masyarakat, prasasti itu di-pasupati terlebih dahulu, memohon
spirit/roh kekuatan alam yang ada disekitarnya untuk menyatu dengan
benda (prasasti) yang akan disucikan. Acara pasupati ini
dilakukan kehadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu
tempat, misalnya: tempat suci yang ada di daerah danau disebut Hyang
Danawa (dewa danau), Hyang Gunung (dewa gunung), Hyang
Api (dewa api), Punta Hyang (dewa resi) dan sebagainya
sesuai manifestasi Tuhan yang dipuja di tempat itu. Dalam prasasti
berisi kutukan dan sumpah bagi masyarakat yang tidak mengindahkannya
yang dimohonkan kutukan datangnya dari segala arah. Dan kutukan ini lah
yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitarnya.
Perkembangan selanjutnya, untuk mengenang kisah peristiwa para raja,
istri, anaknya selama memerintah terdahulu dan dikaitkan mithos para
dewa yang berstana di gunung sekitarnya oleh pemerintahan selanjutnya,
termasuk para leluhur warga yang ikut merintis pura itu, maka menjadi
sebuah catatan tertulis yang disebut purana yang terbuat dari
daun lontar dan tentunya di stanakan di pura. Purana sebagai simbol
kebersamaan dan pedoman bagi para pangamong dan pangempon
pura di dalam menjalani kelanjutan dari perkembangan pura tersebut.
Pada zaman Bali pertengahan pura pura Jagat umumnya memiliki Raja
Purana yang menjadi pedoman umatnya. Dari purana turunannya
menjadi babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu
dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan,
disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain sehingga
terjadi silang sengketa, nama sama belum tentu orangnya sama, akhirnya
terjadi saling klaim.
Mengutip Pura dan Purana
dalam majalah Hindu Raditya, edisi Juni 2010 oleh Budi Adnyana
menjelaskan dalam setiap Purana unsur sargah, pratisarga, wamsa,
wamsanucarita, manvantara, adalah sangat jelas. Sargah
adalah penciptaan, dalam konteks ini bukan hanya penciptaan dunia ini,
namun juga cikal bakal berdirinya pura tersebut. Pratisarga
akan menuntun kita pada kelanjutan pura ini setelah ada, sebagai
kahyangan apa. Setelah itu diikuti Wamsa dari garis keturunan
siapa dan pendeta siapa, danghyang siapa yang menjadi
pemrakarsa. Kemudian Wamsanucarita, kelak pura ini disungsung
oleh keturunan siapa atau garis keturunan yang mana. Yang terakhir
adalah Manvantara atau periode waktu, siapa yang di puja serta
upakara dan hari piodalan pura tersebut. Dimana catatan ini
akan menjadi acuan dan pedoman bagi para penyungsungnya untuk
selanjutnya. Mengacu dari uraian tersebut, Pura Lempuyang Gamongan
rasanya telah memenuhi seluruh persyaratan tersebut diatas.
Karena perkembangan konstelasi politik pemerintahan yang berkuasa pada
masa kini, yang dulunya Pura Lempuyang di-mong oleh Desa Adat
Gamongan, dan di-mpon oleh desa-desa diluar lingkungan Desa
Adat Gamongan, sejak tanggal 11 April 2003 diambil alih dengan prosesi nedunang,
nuhur prasasti dan pretima, dalam rangka Aci
purnamaning ke dasa tanggal 16 April 2003 di Pura Lempuyang Madya,
dijaga satu peleton Pasukan Dalmas Polres Karangasem, penjagaan itu
karena belum ada kesepakatan menyangkut status dan pelaksanaan Aci di
pura itu antara MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dengan pangemong
pihak Desa Adat Gamongan. (Bali Post 12 April 2003).
Menurut penglingsir Desa Adat Gamongan, Jro Mangku Komang
Putra mengatakan permasalahan ini mulai muncul setelah pihak
Warga Pasek Kecamatan Abang, mengklaim bahwa Pura Lempuyang Madya
dinyatakan Linggih Bhatara Mpu Gnijaya sebagai
Kawitan Warga Pasek, sehingga muncul Keputusan Maha Saba IV MGPSSR di
Besakih tanggal 29 Juli 1989, Nomor: VII/MS/IV/MGPSSR/1989 tentang
Program Kerja tahun 1989-1994, dengan berlanjut Keputusan Pengurus Pusat
MGPSSR tanggal 25 Nopember 1989 Nomor: 19/PP/MGPSSR/1989, tentang
Pembentukan Panitia Pemugaran Pura Lempuyang Madya di Kabupaten
Karangasem. Dan implementasi dari surat keputusan tersebut, sehingga
terjadi pemugaran secara sepihak oleh warga yang mengatasnamakan warga
Pasek Kecamatan Abang. Karena belum ada kesepakatan dari kedua belah
pihak sehingga terjadi perselisihan dan dimediasi oleh aparat setempat,
sehingga muncul Surat Pernyataan Kesepakatan pada tanggal 29 Maret 2000.
Sedangkan warga Desa Adat Gamongan menyatakan saat kini bahwa Pura
Lempuyang Madya yang berstana Ida Bhatara Hyang Gnijaya adalah
bekas pertapaan Sri Gnijaya Sakti, menjadi raja Bali tahun 1119 Masehi,
setelah habis masa memerintah melakukan wanaprasta menjalani
hidup suci, akhirnya beliau sampai di Gunung Lempuyang, sesuai dengan
catatan tertulis yang ada diatas. Tidak tertulis adanya Pura Lempuyang
Dasar, Lempuyang Madya, Lempuyang Luhur, serta Pura Lempuyang lainnya.
Disamping itu Jro Mangku Komang Putra merasa heran, “Kenapa baru
menemukan Kawitan, sebelumnya dimanakah Kawitan MGPSSR
(Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi)” dengan penuh nada heran.
Warga Desa Adat Gamongan belakangan ini melakukan ngastiti bhakti dari
Pura Penyimpenan Bhatara Hyang Gnijaya, dengan membuat asagan/bale
tempat haturan yang terbuat dari bambu seadanya sebagai wujud bakti pengayatan
untuk Palinggih Telaga Sawang, bale pengayatan
untuk Pura Penataran Lempuyang, bale pengayatan untuk Pura
Pucak Bisbis.
Jro Mangku Komang
Putra mengharapkan kepada Pemerintah atau Kepala Daerah, agar membimbing
dan mengawasi pelaksanaan penyebaran agama dan ibadah agar tidak
menimbulkan perpecahan diantara sesama umatnya dan tidak disertai
intimidasi, bujukan, paksaan, atau ancaman dalam segala bentuknya, yang
bisa menimbulkan ketidak harmonisan diantara sesama umat Hindu yang ada
di Bali yaitu dengan jalan meluruskan Sejarah Keberadaan Pura Lempuyang
untuk generasi selanjutnya, sesuai dengan komitmen yang telah di
dengung-dengungkan di media massa yaitu AJeg Bali?
Sumber
'http://www.notes/pasemetonan-sri-karang-buncing-kuta-jimbaran/pura-lempuyang-gamongan-sejarah-mu-kini/113737045357294'
3.
Pura Goa Lawah
Pura Goa lawah adanya di desa
Pesinggahan, kecamatan Dawan,
kabupaten Klungkung.Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan
Dewa Siwa
mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma
turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma
sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga
Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan
samudara agar menguap menjadi mendung. Ekornya menjadi gunung dan
sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala
Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan
ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu
di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih.
Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon
tembus sampai ke Pura Goa Lawah.Karena ada gempa tahun 1917, goa
itu menjadi tertutup.
Keberadaan Pura Goa Lawah ini
dinyatakan dalam beberapa lontar
seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar
tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu
Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk
diperluas pada abad ke XV Masehi.
Dalam Lontar Usana Bali
dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya
yang bernama ”Babading Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan
tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga
memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya
melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana
atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi
sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang
diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu
umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih
salah satunya ke Pura Goa Raja.
Pujawali atau piodalan di
Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara
Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki
dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan
(bagian dalam) Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar
Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai
pesimpangan Bhatara Andakasa.
Ada Gedong Limasari sebagai
Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu
sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan
Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.
Sumber :
Wikipedia
4. Pura Uluwatu
Pura Luhur Uluwatu atau Pura
Uluwatu merupakan pura yang
berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan
Kuta, Badung. Pura yang terletak di ujung barat
daya pulau Bali
di atas
anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini
merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata
angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang
pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran
Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja
pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali
pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang
dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi
asal nama Pura Luhur Uluwatu.[1]
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97
meter dari permukaan laut.
Di depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi
sebagai penyangga kesucian pura.
Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura
pesanakan, yaitu pura yang erat
kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura
Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan.
Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu,
terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura
Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku
Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu
adalah Dewa Rudra.
Pura Uluwatu juga menjadi terkenal
karena tepat di bawahnya adalah
pantai Pecatu yang sering kali digunakan sebagai tempat untuk olahraga selancar,
bahkan even internasional seringkali diadakan di sini. Ombak pantai ini
terkenal amat cocok untuk dijadikan tempat selancar selain keindahan
alam Bali yang memang amat cantik.
Sumber :
'Wikipedia Indonesia'
5. Pura Tanah Lot
Menurut legenda, pura ini
dibangun oleh seorang brahmana
yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil
menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan membangun Sad
Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah
Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai
meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben
menyuruh Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi
dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya
memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan
membangun pura di sana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular
penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular
ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih
seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali
lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa
Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha.
Sumber :
Wikipedia Indonesia
6. Pura Rambutsiwi
Pura Rambut Siwi adalah salah satu
Pura Hindu terbesar di Bali,
terletak di Desa Yeh Embang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten
Jembrana di Bali barat. Memerlukan waktu sekitar 2 jam dari Denpasar
pergi ke daerah Bali bagian barat atau 30 menit dari Negara. Sangat
mudah untuk sampai ke Pura ini dari Denpasar dan hanya cukup mengikuti
jalan utama menuju Gilimanuk. Dalam perjalanan ke Gilimanuk, setelah
memasuki wilayah Kabupaten Jembrana, anda akan menemukan sebuah Pura di
sisi kiri, di mana sebagian besar pengendara menghentikan kendaraannya
di tempat ini. Rambut Siwi adalah sebuah Pura Hindu yang indah, terletak
di tepi tebing, dengan Samudera Hindia yang luas terhampar di depannya.
Pura Rambut Siwi sendiri adalah lokasi dari banyak upacara dan kegiatan
keagamaan dalam kalender Hindu di Bali.
Bangunan Pura Rambut Siwi terletak
di samping jalan utama
Denpasar menuju Gilimanuk. Kita dapat melihat semua kendaraan yang
dikendarai oleh umat Hindu setempat akan berhenti sejenak di Pura ini
untuk berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan selama perjalanan
mereka. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat di Pura-Pura lainnya di
Bali seperti pada Pura Goa Lawah dan Pura Pulaki.
Pemandangan yang sensasional
dimiliki oleh Pura ini ketika
melihat ke arah laut dan ke bawah Pura atau dari pantai menengadah ke
arah Pura. Pura utama terletak di atas tebing dan dikelilingi oleh
pemandangan Samudra Hindia. Dari puncak tebing, kita bisa melihat
bangunan Pura tua di bawah dan terletak tepat di tepi laut. Selain itu,
panorama yang indah dari Samudra Hindia yang berwarna biru akan menambah
kesan pengalaman anda. Suasana di tempat ini sangat tenang dan baik
untuk memulihkan pikiran kita.
Biaya untuk mengunjungi Pura
Rambut Siwi cukup murah dan
merupakan cara yang sangat baik untuk menghabiskan hari anda di Bali,
terutama pada saat matahari terbenam di tempat ini. Pura Rambut Siwi
jauh dari keramaian dan merupakan kunjungan alternatif dibandingkan
dengan Pura Tanah Lot yang merupakan Pura yang paling banyak dikunjungi
di Bali. Namun anda harus bersedia melakukan perjalanan yang lebih lama
untuk menikmati ketenangan di Pura Rambut Siwi ini.
Pura Rambut Siwi dibuka untuk
tujuan wisata di Bali barat dan
tempat yang tepat untuk kunjungan selama liburan anda berada di Bali.
Ini merupakan salah satu tujuan wisata di Bali atau salah satu
tempat-tempat menarik di Bali.
Sumber :
Wikipedia Indonesia