Rabu, 20 Juni 2012

'BEBERAPA PURA-PURA UMUM YANG ADA DI BALI'

1. Pura besakih
 
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995

Sumber :
'Wikipedia Indonesia'


2. Pura Lempuyang


             Di Bali, banyak pura tidak jelas status dan fungsi pura tersebut sebagai pura apa? Apakah Pura Swagina, Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, Pura Dadia atau Pura Panti atau Pura bekas tempat pertapaan dari para leluhur terdahulu, atau Pura tempat abu para raja yang dicandikan atau munculnya Pura itu atas kehendak dari segelintir orang atau Pura napak tilas para leluhur yang pernah datang ke tempat itu atau berdirinya pura bersumber dari kerauhan, atau berdirinya pura karena pawisik dan siapa yang membisiki. Tiba-tiba saja, yang dulunya hanya sebuah pohon dan didandani kain poleng, lalu dibuatkan sebuah palinggih berkembang menjadi pura dengan tri mandalanya yang sangat megah sekali, atau yang awalnya dari Kahyangan Desa berubah status dan fungsinya menjadi Kahyangan Jagat. Tetapi tak jelas siapa yang dimuliakan di pura itu, bagaimana awal mula berdirinya pura itu, siapa pengemong dan pengemponya, bagaimana kita mengetahui bahwa dewa/bhatara merestui tempat suci yang kita bangun itu, dan bagaimana status pura itu untuk selanjutnya.

           Selama ini berdirinya suatu pura umumnya memiliki prasasti dan purana yang sangat jelas dan di stanakan di pura setempat atau prasasti yang ada di lain tempat menjelaskan tentang keberadaan pura tersebut. Prasasti adalah ketetapan resmi terbuat dari tembaga yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa saat itu dan disaksikan oleh jabatan bawahannya, juga nama tetua desa tercantum di dalamnya. Sebelum prasasti itu disosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu di-pasupati terlebih dahulu, memohon spirit/roh kekuatan alam yang ada disekitarnya untuk menyatu dengan benda (prasasti) yang akan disucikan. Acara pasupati ini dilakukan kehadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu tempat, misalnya: tempat suci yang ada di daerah danau disebut Hyang Danawa (dewa danau), Hyang Gunung (dewa gunung), Hyang Api (dewa api), Punta Hyang (dewa resi) dan sebagainya sesuai manifestasi Tuhan yang dipuja di tempat itu. Dalam prasasti berisi kutukan dan sumpah bagi masyarakat yang tidak mengindahkannya yang dimohonkan kutukan datangnya dari segala arah. Dan kutukan ini lah yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitarnya.

           Perkembangan selanjutnya, untuk mengenang kisah peristiwa para raja, istri, anaknya selama memerintah terdahulu dan dikaitkan mithos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya oleh pemerintahan selanjutnya, termasuk para leluhur warga yang ikut merintis pura itu, maka menjadi sebuah catatan tertulis yang disebut purana yang terbuat dari daun lontar dan tentunya di stanakan di pura. Purana sebagai simbol kebersamaan dan pedoman bagi para pangamong dan pangempon pura di dalam menjalani kelanjutan dari perkembangan pura tersebut.

           Pada zaman Bali pertengahan pura pura Jagat umumnya memiliki Raja Purana yang menjadi pedoman umatnya. Dari purana turunannya menjadi babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan, disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain sehingga terjadi silang sengketa, nama sama belum tentu orangnya sama, akhirnya terjadi saling klaim.

           Mengutip Pura dan Purana dalam majalah Hindu Raditya, edisi Juni 2010 oleh Budi Adnyana menjelaskan dalam setiap Purana unsur sargah, pratisarga, wamsa, wamsanucarita, manvantara, adalah sangat jelas. Sargah adalah penciptaan, dalam konteks ini bukan hanya penciptaan dunia ini, namun juga cikal bakal berdirinya pura tersebut. Pratisarga akan menuntun kita pada kelanjutan pura ini setelah ada, sebagai kahyangan apa. Setelah itu diikuti Wamsa dari garis keturunan siapa dan pendeta siapa, danghyang siapa yang menjadi pemrakarsa. Kemudian Wamsanucarita, kelak pura ini disungsung oleh keturunan siapa atau garis keturunan yang mana. Yang terakhir adalah Manvantara atau periode waktu, siapa yang di puja serta upakara dan hari piodalan pura tersebut. Dimana catatan ini akan menjadi acuan dan pedoman bagi para penyungsungnya untuk selanjutnya. Mengacu dari uraian tersebut, Pura Lempuyang Gamongan rasanya telah memenuhi seluruh persyaratan tersebut diatas.

           Karena perkembangan konstelasi politik pemerintahan yang berkuasa pada masa kini, yang dulunya Pura Lempuyang di-mong oleh Desa Adat Gamongan, dan di-mpon oleh desa-desa diluar lingkungan Desa Adat Gamongan, sejak tanggal 11 April 2003 diambil alih dengan prosesi nedunang, nuhur prasasti dan pretima, dalam rangka Aci purnamaning ke dasa tanggal 16 April 2003 di Pura Lempuyang Madya, dijaga satu peleton Pasukan Dalmas Polres Karangasem, penjagaan itu karena belum ada kesepakatan menyangkut status dan pelaksanaan Aci di pura itu antara MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dengan pangemong pihak Desa Adat Gamongan. (Bali Post 12 April 2003).

           Menurut penglingsir Desa Adat Gamongan, Jro Mangku Komang Putra mengatakan permasalahan ini mulai muncul setelah pihak Warga Pasek Kecamatan Abang, mengklaim bahwa Pura Lempuyang Madya dinyatakan Linggih Bhatara Mpu Gnijaya sebagai Kawitan Warga Pasek, sehingga muncul Keputusan Maha Saba IV MGPSSR di Besakih tanggal 29 Juli 1989, Nomor: VII/MS/IV/MGPSSR/1989 tentang Program Kerja tahun 1989-1994, dengan berlanjut Keputusan Pengurus Pusat MGPSSR tanggal 25 Nopember 1989 Nomor: 19/PP/MGPSSR/1989, tentang Pembentukan Panitia Pemugaran Pura Lempuyang Madya di Kabupaten Karangasem. Dan implementasi dari surat keputusan tersebut, sehingga terjadi pemugaran secara sepihak oleh warga yang mengatasnamakan warga Pasek Kecamatan Abang. Karena belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak sehingga terjadi perselisihan dan dimediasi oleh aparat setempat, sehingga muncul Surat Pernyataan Kesepakatan pada tanggal 29 Maret 2000.

           Sedangkan warga Desa Adat Gamongan menyatakan saat kini bahwa Pura Lempuyang Madya yang berstana Ida Bhatara Hyang Gnijaya adalah bekas pertapaan Sri Gnijaya Sakti, menjadi raja Bali tahun 1119 Masehi, setelah habis masa memerintah melakukan wanaprasta menjalani hidup suci, akhirnya beliau sampai di Gunung Lempuyang, sesuai dengan catatan tertulis yang ada diatas. Tidak tertulis adanya Pura Lempuyang Dasar, Lempuyang Madya, Lempuyang Luhur, serta Pura Lempuyang lainnya. Disamping itu Jro Mangku Komang Putra merasa heran, “Kenapa baru menemukan Kawitan, sebelumnya dimanakah Kawitan MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi)” dengan penuh nada heran.

           Warga Desa Adat Gamongan belakangan ini melakukan ngastiti bhakti dari Pura Penyimpenan Bhatara Hyang Gnijaya, dengan membuat asagan/bale tempat haturan yang terbuat dari bambu seadanya sebagai wujud bakti pengayatan untuk Palinggih Telaga Sawang, bale pengayatan untuk Pura Penataran Lempuyang, bale pengayatan untuk Pura Pucak Bisbis.

           Jro Mangku Komang Putra mengharapkan kepada Pemerintah atau Kepala Daerah, agar membimbing dan mengawasi pelaksanaan penyebaran agama dan ibadah agar tidak menimbulkan perpecahan diantara sesama umatnya dan tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan, atau ancaman dalam segala bentuknya, yang bisa menimbulkan ketidak harmonisan diantara sesama umat Hindu yang ada di Bali yaitu dengan jalan meluruskan Sejarah Keberadaan Pura Lempuyang untuk generasi selanjutnya, sesuai dengan komitmen yang telah di dengung-dengungkan di media massa yaitu AJeg Bali?     

Sumber
'http://www.notes/pasemetonan-sri-karang-buncing-kuta-jimbaran/pura-lempuyang-gamongan-sejarah-mu-kini/113737045357294'


3. Pura Goa Lawah



         Pura Goa lawah adanya di desa Pesinggahan, kecamatan Dawan, kabupaten Klungkung.Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menjadi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah.Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.
          Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi.
          Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ”Babading Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.
           Pujawali atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan (bagian dalam) Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa.
         Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.

Sumber :
Wikipedia


4. Pura Uluwatu

Pura Luhur Uluwatu atau Pura Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Pura yang terletak di ujung barat daya pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu.[1]
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura.
Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.
Pura Uluwatu juga menjadi terkenal karena tepat di bawahnya adalah pantai Pecatu yang sering kali digunakan sebagai tempat untuk olahraga selancar, bahkan even internasional seringkali diadakan di sini. Ombak pantai ini terkenal amat cocok untuk dijadikan tempat selancar selain keindahan alam Bali yang memang amat cantik.

Sumber :
'Wikipedia Indonesia'


5. Pura Tanah Lot


         Menurut legenda, pura ini dibangun oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan membangun pura di sana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha.
Sumber :
Wikipedia Indonesia


6. Pura Rambutsiwi
Pura Rambut Siwi adalah salah satu Pura Hindu terbesar di Bali, terletak di Desa Yeh Embang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana di Bali barat. Memerlukan waktu sekitar 2 jam dari Denpasar pergi ke daerah Bali bagian barat atau 30 menit dari Negara. Sangat mudah untuk sampai ke Pura ini dari Denpasar dan hanya cukup mengikuti jalan utama menuju Gilimanuk. Dalam perjalanan ke Gilimanuk, setelah memasuki wilayah Kabupaten Jembrana, anda akan menemukan sebuah Pura di sisi kiri, di mana sebagian besar pengendara menghentikan kendaraannya di tempat ini. Rambut Siwi adalah sebuah Pura Hindu yang indah, terletak di tepi tebing, dengan Samudera Hindia yang luas terhampar di depannya. Pura Rambut Siwi sendiri adalah lokasi dari banyak upacara dan kegiatan keagamaan dalam kalender Hindu di Bali.
Bangunan Pura Rambut Siwi terletak di samping jalan utama Denpasar menuju Gilimanuk. Kita dapat melihat semua kendaraan yang dikendarai oleh umat Hindu setempat akan berhenti sejenak di Pura ini untuk berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan selama perjalanan mereka. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat di Pura-Pura lainnya di Bali seperti pada Pura Goa Lawah dan Pura Pulaki.
Pemandangan yang sensasional dimiliki oleh Pura ini ketika melihat ke arah laut dan ke bawah Pura atau dari pantai menengadah ke arah Pura. Pura utama terletak di atas tebing dan dikelilingi oleh pemandangan Samudra Hindia. Dari puncak tebing, kita bisa melihat bangunan Pura tua di bawah dan terletak tepat di tepi laut. Selain itu, panorama yang indah dari Samudra Hindia yang berwarna biru akan menambah kesan pengalaman anda. Suasana di tempat ini sangat tenang dan baik untuk memulihkan pikiran kita.
Biaya untuk mengunjungi Pura Rambut Siwi cukup murah dan merupakan cara yang sangat baik untuk menghabiskan hari anda di Bali, terutama pada saat matahari terbenam di tempat ini. Pura Rambut Siwi jauh dari keramaian dan merupakan kunjungan alternatif dibandingkan dengan Pura Tanah Lot yang merupakan Pura yang paling banyak dikunjungi di Bali. Namun anda harus bersedia melakukan perjalanan yang lebih lama untuk menikmati ketenangan di Pura Rambut Siwi ini.
Pura Rambut Siwi dibuka untuk tujuan wisata di Bali barat dan tempat yang tepat untuk kunjungan selama liburan anda berada di Bali. Ini merupakan salah satu tujuan wisata di Bali atau salah satu tempat-tempat menarik di Bali.

Sumber :
Wikipedia Indonesia